Minggu, 11 Juli 2010

Belajar dari Cowboys in Paradise


Akhir april 2010 publik dihebohkan dengan film yang berjudul Cowboys in Paradise. Film dokumenter garapan Amit Virmani ini mengusung tema sex-tourism dengan mengisahkan bagaimana kehidupan gigolo di Bali. Tidak diketahui dengan pasti motif sutradara dari Singapura itu dalam pembuatan film ini, namun film ini menjadi pukulan telak masyarakat Bali dan kepariwisataan Indonesia pada umumnya. Berbagai bentuk protes masyarakat Bali terhadap film ini terus berlangsung karena film ini dianggap mencemarkan nama baik sekaligus memrosotkan pamor pariwisata Bali di mata internasional. Hal ini tentu saja berpengaruh pada bisnis pariwisata nasional karena Bali merupakan salah satu tempat wisata andalan Indonesia yang paling banyak menyerap turis baik lokal dan mancanegara.

Pertanyaanya, apakah benar ada cowboys di Bali? Secara teori, setiap daerah tujuan wisata akan menimbulkan segala macam potensi transaksi. Baik itu transaksi yang bernilai positif seperti jual beli makanan, jasa transportasi, telekomunikasi, dan lain-lain juga transaksi bernilai negatif seperti pelacuran, jual beli obat-obatan terlarang, dan lain-lain. Adanya demand dan supply merupakan hal alami yang muncul. Jadi potensi seperti itu bukan hanya ada di Bali, tetapi juga tempat-tempat lain yang menjadi tujuan pariwisata, termasuk Daerah Istimewa Yogyakarta (Jogja). Respon publik sekitar yang akan menentukan apakah potensi itu akan muncul atau akan tenggelam. Budaya permisif, pengawasan minimalis, ketidakpedulian sosial adalah beberapa respon publik yang mampu menumbuhkan potensi negatif tersebut.

Berbagai macam spekulasi bermunculan mananggapi kasus ini. Spekulasi yang menarik adalah adanya negative-competition dalam persaingan pasar pariwisata. Spekulasi ini sangat beralasan. Pembuatan film yang kontroversial ini selain tidak berizin juga dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Terlebih kewarganegaraan Singapura, yang tentunya merupakan kompetitor Bali dalam dunia pariwisata, yang dimiliki Amit Virmani menjadi nilai penguat spekulasi ini. Saat ini muncul kekhawatiran dari masyarakat sampai pada pemerintah daerah akan terjadinya penurunan jumlah turis yang berkunjung ke Bali. Meskipun demikian kekhawatiran ini belum terbukti. Belum ada keterangan resmi dari pihak berwenang yang membenarkan adanya penurunan jumlah pengunjung.

Sikap pro-aktif memang sudah seharusnya ditunjukan oleh pemerintah. Namun kebijakan yang kurang tepat justru akan semakin manambah dampak buruk. Adanya razia yang dilakukan oleh satgas pantai Kuta bisa jadi memiliki tujuan yang baik, namun sangat disayangkan jika implementasinya dapat mengganggu kenyamanan turis yang sedang menikmati keindahan Pantai Kuta. Hal ini tentu menjadi point negative pelayanan pariwisata. Respon publik yang baik tentu adalah respon yang dilandasi pada permasalahan yang ada. Jadi antara masalah dan penyelesaian benar-benar mempunyai titik temu sehingga respon kebijakan adalah bentuk penanggulangan yang efektif dari sebuah permasalahan. Dalam masalah ini Thailand bisa menjadi contoh. Thailand menghadapi gejolak politik yang tak kunjung baik bahkan berpotensi akan adanya kerusuhan, namun kepariwisataan Thailand tidak lelahnya melakukan promosi dengan slogan Amazing Thailand-nya. Dalam promosinya, Amazing Thailand menawarkan segala macam keindahan, keamanan dan kenyamanan, sehingga para turis tidak perlu khawatir dengan gejolak politik di negeri Gajah Putih tersebut. Hasilnya, meskipun potensi kerusuhan politik siap meledak di Thailand namun Thailand tetap menjadi tujuan pariwisata dunia.

Masalah yang muncul dari film ini bukan hanya menjadi tanggungan lokal Bali tetapi menjadi tanggungjawab nasional mengingat Bali merupakan salah satu ikon pariwisata nasional. Belum lama sebelum kasus ini mencuat Indonesia sebenarnya telah mendapatkan pandangan positif dari internasional dengan keberhasilan dilumpuhkannya teroris. Ini adalah modal besar bagi Indonesia untuk membuang jauh persepsi buruk internasional terhadap Bali dan terhadap Indonesia pada umumnya. Hal yang perlu dilakukan tentu dengan terus meyakinkan masyarakat international bahwa Indonesia nyaman, Indonesia aman, dan Indonesia menawarkan keindahan alam bukan sex-tourism baik itu melalui iklan dan promosi maupun dengan perbaikan pelayanan pariwisata yang diberikan. Pemerintah Indonesia semestinya mampu merespon masalah ini dengan baik.

Jogja seyogyanya mampu mengambil pelajaran dari kasus ini. Bukan tidak mungkin Jogja akan mendapatkan isu tak sedap seperti ini sehingga menggoyahkan sektor pariwisata Jogja. Karena sebagai salah satu tujuan pariwisata Jogja juga memiliki potensi timbulnya transaksi bernilai negatif. Pemahaman situasi-kondisi dan pengambilan kebijakan adalah kunci untuk menciptakan pelayanan yang baik, rasa aman, rasa nyaman, terhadap turis sehingga tumbuh kepercayaan dalam diri turis untuk mengajak orang lain mengunjungi Jogja.


Oleh : Adi Risza Rosadi


- Harian Jogja 06/05/10 -

3 komentar:

bali tour murah mengatakan...

Saya rasa dimanapun liburannya, hampir di setiap spot wisata di dunia pasti ada saja yang menjajakan bisnis esek2..
Tapi semoga pemerintah di Indonesia lebih tegas menghentikan bisnis seperti ini di Indonesia, sehingga wisata di Indonesia menjadi lebih berkualitas..

Agan Jogja mengatakan...

Betul om, setubuh.... Hahaha...

komputerbutut mengatakan...

... dulu sempet ada ... berita miring di berita tentang cowboy in paradise di bali ^___^

Posting Komentar

Silahkan berkomentar kawan. Mudah kok, tinggal pilih dengan akun Googel, Wordpress, Nama dan URL/Nama Saja, atau Anonymous :)

◄ Posting Baru Posting Lama ►
 

Mengenai Saya

Foto saya
Berbagi informasi CPNS dan Lowongan Pekerjaan
Masukan email-mu untuk terus update artikel dan info CPNS dan Lowker dari Adipanca.Net

Copyright © 2012. Adi & Panca Blog - All Rights Reserved Thanks to: by Blog Bamz